Senin, 09 Juli 2012

Perjalanan Hati Seorang Lelaki


Menjadi seorang lelaki adalah menjadi mahluk yang tak pernah berhenti mencari. Bagi seorang lelaki, perjalanan hati cinta nyaris tak kenal lelah dan tak kenal menyerah. Pada usia berapapun, lelaki ditakdirkan untuk masih dapat mengekspresikan cinta dan gelora asmaranya dengan prima.
Tiada pukulan batin yang palin menyakitkan, kecuali dikhianati oleh orang yang paling kita cintai. Tiada duka yang paling dalam, kecuali ditinggal pergi selama-lamanya oleh orang yang telah memberi harapan dan kebahagiaan kepada kita. Begitulah aku, dan begitulah kehidupanku.
Namaku Asmar, usia hampir setengah abad, telah dikecewakan dan ditinggalkan oleh dua orang perempuan yang sangat aku cintai. Telah dua kali aku menduda, sebuah prestasi perkawinan yang buruk dalam perjalanan hidup seorang laki-laki.
Aku menikah pertama kali diusia 30 tahun, disaat aku menjadi tenaga pengajar di Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Aku menikah dengan bekas mahasiswiku. Awalnya dia istri yang sabar, baik dan mau mengerti kemiskinanku.  Setelah lima tahun menjalani bahtera rumah tangga, dia telah menceraikan dan meninggalkanku tanpa rasa bersalah dan membawa serta buah hati kecilku. Dan yang paling menyakitkan adalah dia telah berselingku sebelum menceraikanku bersama lelaki pemilik hotel terkena di yogyakarta yang merupakan mantan pacarnya.
Aku menikah untuk yang kedua kalinya disaan umurku sudah menginjak usia 40 tahun. Lima tahun menduda kugunakan untuk mengambil program S2 di Universitas Indonesia, Jakarta. Istri keduaku yaitu seorang sastra Jawa dari Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Kesetiaan yang kudambakan telah kutemukan dalam dirinya. Kelembutannya, kesabarannya, dan pengabdiannya yang tulus kepada suami membuatku begitu begitu mencitainya. Tuhan ternyatabelum juga memberikan kesempatan bagiku untuk berbahagia. Setelah dua tahun perkawinanku, ranjang yang menjadi saksi ketulusan cinta menjadi saksi pula sisaat aku harus kehilangan istri didalam pelukanku dikarenakan sakit kelainan jantung yang dideritanya.
Setelah kepargian istri keduaku, aku meneruskan studi lagi di Jakarta, mengambil Program S3 di Universitas Indonesia. Kampus yang sangat rimbun yang telah membantuku untuk melupakan hari-hari dukaku yang kemarin. Dikampus inilah aku bertemu dengan  seorang gadis belia yang kini menjadi kekasihku dan sekaligus menjadi inspirasiku. Namanya Mega, lengkapnya Mega Larasati, mahasiswi Sastra Inggris semester enam.
“Kapan mas berangkat?”  pertanyaan Mega yang memutus lamunanku. Kami sedang nongkrong di kantin Fakultas Sastra Universitas Indonesia untuk makan pagi.
“Berangkat ke mana?” tanyaku pura-pura tidak menangkap arahnya.
“Biasa, setiap pertanyaan pertama tak pernah dapat dimengerti.” Sindirnya.
“Mengerti sebuah pertanyaan memang butuh waktu. Jawaban yang tergesa-gesa selaluburuk hasilnya.”
“Sudahlah mas, jangan terlau berfisafalat. Kapan sie mas berangkat ke Belanda? Cetus Mega dengan agak kesal.
“Berangkat minggu depan. Masih tujuh hari lagi.”
“berapa tahun?”
“Dua tahun doang, ngga labih dari itu.”
“Lalu apa saja rencananya di san?”
“Buanyaaaak! Sekolah, riset, kalau mungkin cari duit, menelponmu, menulis puisi untukmu, dan merindukanmu.”
“Bohong! Paling dua bulan udah kecantol gadis Belanda.”
Believe it or not. Kita liat saja, siapa lebih setia, kamu atau aku.”
Makin dekat perpisahan makin membuat Mega berwajah murung. Aku mencoba menghiburnya dengan meyakinkannya bahwa jika Tuhan menakdirkan dia menjadi istriku, namun semua candaanku tidak membuatnya berubah. Membuatnya semakin mematung.
Sore itu, hanya Mega yang mengantarku ke bandara meminjam mobil orang tuanya. Dalam perjalanan menuju ke bandara aku bernyanyi lagu Yesterday yang biasa dinyanyikan oleh  The Beatles. Mega senang jika aku selalu bernyanyi.
“Keliatannya Mas ceria sekali.” Katanya agak kurang senang.
“Apakah kita harus bersedih, Mega? Kulihat kaupun tidak semurung kemarin.”
“Memang tidak. Semalam aku merenung. Cara yang terbaik untuk menghindari kesedihan dalam perpisahan adalah memahami perpisahan sebagai bagian dari proses yang menentukan kelanjutan hubungan kita.”
“Maksudmu, perpuisahan ini akan menguji kesetiaan kita?”
“Ya. Nanti akan terbukti, siapa yang lebih setia?”
“Kesepiaan sering kali menodai kesetiaan.”
“Itu hanya berlaku bagi laki-laki. Bagi perempuan sangat sulit.
Setelah hampir sehari semalam di angkasa, akhirnya pesawat mendarat di Bandara Schiphol. Semua berjalan lancar tanpa hambatan. Aku tinggal dikawasan Vliet, kira-kira hanya 300 m dari kampus Universitas Leiden.
Berbulan-bulan di Belanda begitu banyak surat yang sudah dikirim buatku, semuanya mengandung isi curahan hati betapa rindunya. Dua kali aku membalasnya dan sudah 10 kali aku menelponnya.
Dihari ulang tahun Mega, aku ingin memberikan kejutan dengan datang ke Indonesia. Tak banyak yang dapat kuceritakan dalam perjalanan Amsterdam-Jakarta. Aku hanya sibuk dengan khayalan sendiri. Pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul lima sore. Setelah mengambil barang-barang bawaanku. Dia pasti tidak mengira aku memberikan hadia ulang tahun yang tidak di sangka-sangka. Lama sekali aku menelpon tapi sama sekali ada jawaban. Barangkali semua laghi keluar pikirku.
Kuulangi lagi menelpon, akhinya diangkat juga. Jantungku berdetak kencang.
“Halo, Assalamu alaikum.” Aku memberi salama.
“walaikum salam, ingin bicara dengan siapa mas?
“Mba Mega.”
“Mba Mega suda tiga hari di rumah sakit.”
“Rumah sakit? Siapa yang sakit? Aku agak panik.
“Mba mega, tiga hari yang lalu, rumah ini disatroni perampok. Waktu itu mba mega sendiri di rumah .......................” pembantu itu aku dengar menangis.
“Apa yang terjadi? Mba Mega dianiaya? Om dan tante di mana?
“Ada di rumah, mereka sudah tiga hari bekerja. Keluarga ini sangat tidak berduka...... sangat berduka........”
Sesampainya aku dirumah mega, mereka hany menyambutku dengan tangisan. Dan hanya sebuah koran yang di berikan kepadaku. Koran kubuka dan kubaca dengan gemetar. Perampokan disertai Pemerkosaan.
Aku hanya bisa diam dan bertanya. “Lantas mega di mana om?”
“Sementara ini tante tidak tau keberadaannya. Setelah kejadian itu seorang aktivis datang dan mengajaknya pergi. Dan tante sama om tidak pernah diberi tahu dimana keberadaannya. Hanya kabar perkembangan mega yang dikabarkan ke kerumah melalui telepon.”
Setelah kejadian itu, kuselesaikan semua urusanku di Belanda dan kembali ke Indonesia. Setahun sama sekali tidak mendapatkan kabar tentang mega. Kedua orang tuanya pun tak tahu. Hanya perkembanghan mega yang aku tahu. Kalau dia sudah ada perkembangan.
Setelah itu aku ke berangkat ke Tengger untuk melakuakan riset sekaligus menunggu harapan atas mega. Berbulan-bulan aku tinggal di tengger.
Dibawah bulan purnama, diatas padang rumput aku berbaring sambil menatap bulan. Betapa terkejutnya aku disaat di datang menemuiku, aku pun terkjejut seketika aku tidak bisa mengeluarkan sepata-katapun. Setelah sekial lama kita terpisah, sekian lama menanggung beban rindu akhirnya aku menemukan gafis pelipur lara yang menjadi penyemangat hidupku...


“sekian.”

Note   : Novel ini memberika kita satu pelajaran, bahwa jika kita menginginkan sesuatu, kita tidak           boleh berhenti mengejar apa yang kita inginkan sampai kita meraihnya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar