Menjadi seorang
lelaki adalah menjadi mahluk yang tak pernah berhenti mencari. Bagi seorang
lelaki, perjalanan hati cinta nyaris tak kenal lelah dan tak kenal menyerah. Pada
usia berapapun, lelaki ditakdirkan untuk masih dapat mengekspresikan cinta dan
gelora asmaranya dengan prima.
Tiada pukulan
batin yang palin menyakitkan, kecuali dikhianati oleh orang yang paling kita
cintai. Tiada duka yang paling dalam, kecuali ditinggal pergi selama-lamanya
oleh orang yang telah memberi harapan dan kebahagiaan kepada kita. Begitulah aku,
dan begitulah kehidupanku.
Namaku Asmar,
usia hampir setengah abad, telah dikecewakan dan ditinggalkan oleh dua orang
perempuan yang sangat aku cintai. Telah dua kali aku menduda, sebuah prestasi
perkawinan yang buruk dalam perjalanan hidup seorang laki-laki.
Aku menikah
pertama kali diusia 30 tahun, disaat aku menjadi tenaga pengajar di Perguruan
Tinggi Negeri di Yogyakarta. Aku menikah dengan bekas mahasiswiku. Awalnya dia
istri yang sabar, baik dan mau mengerti kemiskinanku. Setelah lima tahun menjalani bahtera rumah
tangga, dia telah menceraikan dan meninggalkanku tanpa rasa bersalah dan
membawa serta buah hati kecilku. Dan yang paling menyakitkan adalah dia telah
berselingku sebelum menceraikanku bersama lelaki pemilik hotel terkena di
yogyakarta yang merupakan mantan pacarnya.
Aku menikah
untuk yang kedua kalinya disaan umurku sudah menginjak usia 40 tahun. Lima tahun
menduda kugunakan untuk mengambil program S2 di Universitas Indonesia, Jakarta.
Istri keduaku yaitu seorang sastra Jawa dari Fakultas Sastra Universitas Gajah
Mada. Kesetiaan yang kudambakan telah kutemukan dalam dirinya. Kelembutannya,
kesabarannya, dan pengabdiannya yang tulus kepada suami membuatku begitu begitu
mencitainya. Tuhan ternyatabelum juga memberikan kesempatan bagiku untuk
berbahagia. Setelah dua tahun perkawinanku, ranjang yang menjadi saksi
ketulusan cinta menjadi saksi pula sisaat aku harus kehilangan istri didalam
pelukanku dikarenakan sakit kelainan jantung yang dideritanya.
Setelah kepargian
istri keduaku, aku meneruskan studi lagi di Jakarta, mengambil Program S3 di
Universitas Indonesia. Kampus yang sangat rimbun yang telah membantuku untuk
melupakan hari-hari dukaku yang kemarin. Dikampus inilah aku bertemu
dengan seorang gadis belia yang kini
menjadi kekasihku dan sekaligus menjadi inspirasiku. Namanya Mega, lengkapnya
Mega Larasati, mahasiswi Sastra Inggris semester enam.
“Kapan mas
berangkat?” pertanyaan Mega yang memutus
lamunanku. Kami sedang nongkrong di kantin Fakultas Sastra Universitas
Indonesia untuk makan pagi.
“Berangkat ke
mana?” tanyaku pura-pura tidak menangkap arahnya.
“Biasa, setiap
pertanyaan pertama tak pernah dapat dimengerti.” Sindirnya.
“Mengerti
sebuah pertanyaan memang butuh waktu. Jawaban yang tergesa-gesa selaluburuk
hasilnya.”
“Sudahlah mas,
jangan terlau berfisafalat. Kapan sie mas berangkat ke Belanda? Cetus Mega
dengan agak kesal.
“Berangkat
minggu depan. Masih tujuh hari lagi.”
“berapa tahun?”
“Dua tahun
doang, ngga labih dari itu.”
“Lalu apa saja
rencananya di san?”
“Buanyaaaak!
Sekolah, riset, kalau mungkin cari duit, menelponmu, menulis puisi untukmu, dan
merindukanmu.”
“Bohong!
Paling dua bulan udah kecantol gadis Belanda.”
“Believe it or not. Kita liat saja, siapa
lebih setia, kamu atau aku.”
Makin dekat
perpisahan makin membuat Mega berwajah murung. Aku mencoba menghiburnya dengan
meyakinkannya bahwa jika Tuhan menakdirkan dia menjadi istriku, namun semua
candaanku tidak membuatnya berubah. Membuatnya semakin mematung.
Sore itu,
hanya Mega yang mengantarku ke bandara meminjam mobil orang tuanya. Dalam perjalanan
menuju ke bandara aku bernyanyi lagu Yesterday
yang biasa dinyanyikan oleh The Beatles. Mega senang jika aku selalu
bernyanyi.
“Keliatannya
Mas ceria sekali.” Katanya agak kurang senang.
“Apakah kita
harus bersedih, Mega? Kulihat kaupun tidak semurung kemarin.”
“Memang tidak.
Semalam aku merenung. Cara yang terbaik untuk menghindari kesedihan dalam
perpisahan adalah memahami perpisahan sebagai bagian dari proses yang
menentukan kelanjutan hubungan kita.”
“Maksudmu,
perpuisahan ini akan menguji kesetiaan kita?”
“Ya. Nanti akan
terbukti, siapa yang lebih setia?”
“Kesepiaan
sering kali menodai kesetiaan.”
“Itu hanya
berlaku bagi laki-laki. Bagi perempuan sangat sulit.
Setelah hampir
sehari semalam di angkasa, akhirnya pesawat mendarat di Bandara Schiphol. Semua
berjalan lancar tanpa hambatan. Aku tinggal dikawasan Vliet, kira-kira hanya
300 m dari kampus Universitas Leiden.
Berbulan-bulan
di Belanda begitu banyak surat yang sudah dikirim buatku, semuanya mengandung
isi curahan hati betapa rindunya. Dua kali aku membalasnya dan sudah 10 kali
aku menelponnya.
Dihari ulang
tahun Mega, aku ingin memberikan kejutan dengan datang ke Indonesia. Tak banyak
yang dapat kuceritakan dalam perjalanan Amsterdam-Jakarta. Aku hanya sibuk
dengan khayalan sendiri. Pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta sekitar
pukul lima sore. Setelah mengambil barang-barang bawaanku. Dia pasti tidak
mengira aku memberikan hadia ulang tahun yang tidak di sangka-sangka. Lama sekali
aku menelpon tapi sama sekali ada jawaban. Barangkali semua laghi keluar
pikirku.
Kuulangi lagi
menelpon, akhinya diangkat juga. Jantungku berdetak kencang.
“Halo,
Assalamu alaikum.” Aku memberi salama.
“walaikum
salam, ingin bicara dengan siapa mas?
“Mba Mega.”
“Mba Mega suda
tiga hari di rumah sakit.”
“Rumah sakit?
Siapa yang sakit? Aku agak panik.
“Mba mega,
tiga hari yang lalu, rumah ini disatroni perampok. Waktu itu mba mega sendiri
di rumah .......................” pembantu itu aku dengar menangis.
“Apa yang
terjadi? Mba Mega dianiaya? Om dan tante di mana?
“Ada di rumah,
mereka sudah tiga hari bekerja. Keluarga ini sangat tidak berduka...... sangat
berduka........”
Sesampainya aku
dirumah mega, mereka hany menyambutku dengan tangisan. Dan hanya sebuah koran
yang di berikan kepadaku. Koran kubuka dan kubaca dengan gemetar. Perampokan disertai Pemerkosaan.
Aku hanya bisa
diam dan bertanya. “Lantas mega di mana om?”
“Sementara ini
tante tidak tau keberadaannya. Setelah kejadian itu seorang aktivis datang dan
mengajaknya pergi. Dan tante sama om tidak pernah diberi tahu dimana
keberadaannya. Hanya kabar perkembangan mega yang dikabarkan ke kerumah melalui
telepon.”
Setelah kejadian
itu, kuselesaikan semua urusanku di Belanda dan kembali ke Indonesia. Setahun sama
sekali tidak mendapatkan kabar tentang mega. Kedua orang tuanya pun tak tahu. Hanya
perkembanghan mega yang aku tahu. Kalau dia sudah ada perkembangan.
Setelah itu
aku ke berangkat ke Tengger untuk melakuakan riset sekaligus menunggu harapan
atas mega. Berbulan-bulan aku tinggal di tengger.
Dibawah bulan
purnama, diatas padang rumput aku berbaring sambil menatap bulan. Betapa terkejutnya
aku disaat di datang menemuiku, aku pun terkjejut seketika aku tidak bisa
mengeluarkan sepata-katapun. Setelah sekial lama kita terpisah, sekian lama
menanggung beban rindu akhirnya aku menemukan gafis pelipur lara yang menjadi
penyemangat hidupku...
“sekian.”
Note : Novel ini memberika kita satu pelajaran,
bahwa jika kita menginginkan sesuatu, kita tidak boleh berhenti mengejar apa yang kita
inginkan sampai kita meraihnya..